BeritaHukumNasionalOpiniOrganisasi

Waketum DPP PERADI Pergerakan M. Pilipus Tarigan, S.H., M.H. Angkat Bicara Terkait Pernyataan Yusril Ihza Mahendra

74
×

Waketum DPP PERADI Pergerakan M. Pilipus Tarigan, S.H., M.H. Angkat Bicara Terkait Pernyataan Yusril Ihza Mahendra

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Tanggapan Advokat M. Pilipus Tarigan, S.H., M.H., Waketum DPP PERADI Pergerakan, Terhadap Pernyataan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PERADI di Jimbaran, Bali, 5-6 Desember 2024, menegaskan bahwa organisasi di luar PERADI bukan merupakan organisasi profesi advokat. Menurutnya, organisasi-organisasi tersebut hanyalah kumpulan, perhimpunan, atau organisasi masyarakat (ormas).

Yusril menjelaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya organisasi profesi advokat yang diakui sebagai state organ sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Ia menekankan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengukuhkan PERADI sebagai single bar atau wadah tunggal organisasi advokat yang sah di Indonesia.

Menanggapi pernyataan tersebut, Advokat M. Pilipus Tarigan, S.H., M.H., Wakil Ketua Umum DPP PERADI Pergerakan, memberikan pandangannya. Dalam pernyataan kepada media di Jakarta pada Jumat, 13 Desember 2024, Pilipus menyampaikan pandangan kritisnya terhadap sejarah pembentukan dan perjalanan PERADI.

Sejarah dan Dinamika Pembentukan PERADI

“PERADI dibentuk pada tahun 2005 sebagai organisasi advokat, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Namun, sejak awal pembentukannya, terdapat ketidaksesuaian dalam implementasi undang-undang tersebut,” ujar Pilipus. Ia menjelaskan bahwa pada masa transisi 2003-2005, pembentukan organisasi advokat dilakukan oleh para pimpinan organisasi advokat yang ada saat itu, bukan melalui kongres yang melibatkan seluruh advokat, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

“Seharusnya, semua advokat di Indonesia bersatu dalam kongres untuk membentuk wadah tunggal advokat. Namun, realitanya hanya para pimpinan organisasi advokat yang bermusyawarah untuk membentuk PERADI,” imbuhnya. Hal ini, menurut Pilipus, menjadi benih permasalahan yang berkembang di kemudian hari.

Kisruh Kongres 2015 dan Fragmentasi PERADI

Pilipus juga menyoroti perpecahan yang terjadi dalam Kongres PERADI di Makassar pada tahun 2015. Ia mengungkapkan bahwa kongres tersebut memicu konflik internal yang mengakibatkan terpecahnya PERADI menjadi beberapa faksi.

“Ketua umum saat itu dianggap tidak memimpin sidang dengan baik, sehingga pimpinan organisasi, termasuk Otto Hasibuan, meninggalkan meja rapat. Akibatnya, muncullah beberapa faksi seperti PERADI Suara Advokat Indonesia dan Rumah Bersama Advokat,” jelas Pilipus.

Ia juga menyoroti peran Mahkamah Agung (MA) dalam merespons dinamika ini melalui Surat Keputusan Nomor 73 Tahun 2015. Surat tersebut memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi untuk melakukan penyumpahan advokat dari organisasi di luar PERADI, selama organisasi tersebut memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

Fakta Multi Bar dalam Profesi Advokat

Pilipus menegaskan bahwa realitas di lapangan menunjukkan adanya sistem multi bar dalam profesi advokat, bukan single bar seperti yang diidealkan undang-undang. “Surat Keputusan MA Nomor 73 Tahun 2015 membuktikan bahwa advokat dari berbagai organisasi di luar PERADI tetap bisa diangkat dan disumpah. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem single bar sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini,” tegasnya.

Ia juga menanggapi pernyataan Yusril yang menyebut bahwa organisasi di luar PERADI bukan organisasi profesi advokat. “Pernyataan tersebut keliru. Mungkin beliau kurang memahami sejarah perjalanan organisasi advokat pasca-lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Undang-undang tersebut memang mengamanatkan wadah tunggal, tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan nama PERADI sebagai satu-satunya organisasi,” ungkapnya.

Kesimpulan dan Harapan

Menurut Pilipus, fakta bahwa Mahkamah Agung memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi untuk menyumpah advokat dari berbagai organisasi menunjukkan bahwa sistem single bar tidak lagi dapat diterapkan secara mutlak. Ia berharap agar pemerintah, melalui revisi undang-undang, dapat mengakomodasi realitas yang ada dan menciptakan regulasi yang lebih inklusif dan adil bagi seluruh advokat di Indonesia.

“Faktanya, profesi advokat saat ini telah berkembang menjadi multi bar. Kita perlu berdialog untuk mencari solusi terbaik demi kemajuan profesi advokat di Indonesia,” pungkasnya.

 

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *